Kamis, 07 April 2011

PANGGIL SAJA DIA "K"


Marilah dengarkan. Akan aku ceritakan tentang seseorang yang aku sayangi dan bagaimana aku bisa menyayanginya. Cerita yang mungkin akan sama dengan cerita yang kau temukan di sudut kota ini. Aku mencintainya bukan karena kesempurnaan yang dia miliki, tapi karena ketidaksempurnaannya. Bukan karena kedudukan sosialnya, tapi pada kediriannya yang coba ia tampakkan dihadapan manusia lainnya.

“Dan perkenalkan, namaku Joni”, akhirnya sebuah nama terucap.

Hemmmmph…..sejujurnya aku tak percaya dia bernama Joni. Begitu janggal bagi seorang anak kampung seperti kami bernama Joni. Entahlah nama Joni begitu menggelitik telingaku. Kenapa bukan Edo atau Erik? Lebih masuk akal bagiku. Tapi terserah, siapapun namanya, akan aku biarkan saja. Itu yang aku pikirkan pertama kali saat malam perkenalan dengannya. Aku yakin, suatu saat dia akan mengakui nama yang sebenarnya, seperti Angelo, orang yang setengah tahun aku kenal sebelum dia. Jika kau tanya bagaimana aku menyambut perkenalan ini, maka akan aku jawab dengan sebenarnya. Seperti wanita pada umumnya, tampak malu-malu atau bahkan memalukan di matanya. Bodoh memang. Yach pandangan tajam dari mata teduhnya telah membuatku tak tenang. Entah apa makna dari tatapan itu.

Setelah perkenalan itu, aku berpikir tak akan lagi aku bertemu dengannya, pada dirinya panggilan “brengsek” yang telah aku sematkan. Yach karena perkenalan itu sendiri bukanlah bagian dari rencana pertemuanku dengannya. Perkenalan itu hanyalah bumbu dari pertemuanku dengan sosok lain yang memang harus aku kenal. Kita sebut saja dia sosok lain itu Andi. Jika engkau melihat dari atas sebagai sutradara di malam itu, maka akan terlihat dia sebagai sosok ketiga yang hadir menemani kami.

Entah bagaimana, disengaja atau tidak, akhirnya seminggu kemudian aku dan dia terhubung melalui benda mungil ini. Nomornya telah aku simpan, jauh sebelum aku tahu ini adalah jalanku menujunya. Percaya atau tidak, inilah akhirnya. Sejak malam itu, tiap malam hingga menjelang subuh kami sering berdiskusi tentang apa saja yang kami anggap penting. Pertanyaan-pertanyaan seputar diri juga menghabiskan beberapa malam. Hingga akhirnya secara garis besar aku tahu perangainya. Kau tahu bagaimana akhirnya aku membuka hatiku untuknya? Aku begitu teringat kata-kata itu. Kata dimana dia merendahkan dirinya dihadapanku. “Aku tahu aku siapa, dan aku tahu siapa kamu.” begitu tulisnya.

Mungkin dia menuliskannya karena dia takut aku akan menyayanginya kemudian. Karena walau bagaimanapun aku mungkin adalah orang yang disukai oleh Andi teman dekatnya sendiri. Tapi justru karena hal inilah aku mulai menyayanginya.

Kalau kau berpikir aku adalah orang jahat karena memposisikannya pada situasi yang sulit, itu benar. Tapi kalau engkau berpikiran bahwa aku tidak seharusnya menyayanginya, karena engkau kasihan pada sosok temannya, aku menolak. Bukankah tiap manusia berhak untuk bahagia? Salahkah aku jika aku menemukan kenyamanan itu pada sosoknya? Benar aku dulu pernah menyukai Andi, temannya. Tapi itu dulu, setahun yang lalu. Itupun hanya sekejap saja, dan berlalu. Bagaimana aku akan menyukai sosok Andi, jika selama setahun lebih aku mengenalnya, tak banyak yang aku ketahui. Tapi bandingkan dengan sosok “brengsek” itu. Dalam waktu sebulan saja, aku seperti telah mengenalnya begitu lama. Jadi, jangan menilai apa yang kami lakukan sebagai bagian dari permainan api, karena memang belum ada ikatan antara aku dengan Andi.

Tiga bulan mungkin adalah waktu yang menyenangkan bagiku. Tak akan pernah terlewat waktu diskusiku bersamanya. Pernah suatu malam penyakit alerginya kambuh. Kusuruh dia untuk memasak air. Tapi dia tak mau dengan alasan tak ada kompor, yang ada hanyalah tungku. Oh Tuhan, sebegitu tak berpunyakah dia?

Oh iya, aku lupa memberitahumu. Bukankah dulu dia mengenalkan diri padaku sebagai Joni? Ternyata dugaanku benar. Namanya bukan Joni. Panggil saja dia “K”. Dia meminta maaf padaku atas kebohongan ini. Tapi aku tak marah, karena aku yakin akan ada hari saat aku mengetahui namanya yang sebenarnya. Karena akupun sadar dia memiliki alasan mengapa melakukan hal itu.

Percayakah kau bahwa yang terjadi antara aku dan “K” adalah sebuah kebetulan belaka? Aku tidak! Karena aku yakin semua hal yang terjadi telah digerakkan oleh kekuatan yang Maha Dahsyat.

Seorang teman sekamar yang memperhatikan adegan diskusi kami pernah berkata, sepertinya dia memiliki rasa terhadapku. Benarkah “K”, rasa apakah itu?sayang, benci, kasihan atau justru muak, sayang?

Entah seperti apa rasanya itu, namun akhirnya aku kirimkan SMS seperti ini kepadanya:

“Aku akan pergi darimu saat aku mulai mengganggu hidupmu, saat aku menjadi sebuah penghalang pendidikanmu, atau mungkin saat aku ingin melangkah tetapi kamu masih ingin seperti ini. Maka aku akan membangunnya bersama orang lain.” Begitu kira-kira SMS yang pernah aku kirimkan padanya, yang kemudian dijawabnya dengan kalimat yang sama, dengan tambahan kata” juga” di belakangnya.

Lambat laun hubungan ini tercium juga oleh Andi. Akupun mengusulkan padanya untuk menjelaskan semua, bahwa belum ada apa-apa antara aku dengan “K”. Aku hanya tak mau dia dianggap sabagai sosok Judas. Tapi dia melarangku. Dia sepertinya punya pertimbangan sendiri tentang hal ini. Secara pribadi, Andi menghubungiku, menanyakan hubunganku dengan “K”. Sebuah pertanyaan yang aku jawab dengan santai, bahwa mereka berdua adalah temanku. Tapi dia menjebakku dengan sebuah pernyataan, “Jika aku dan dia adalah sama kedudukannya di matamu, mengapa kau tidak memintaku menjemputmu? kenapa kamu memintanya? ”

“Itu karena rumahnya lebih dekat.” Begitu kilahku.

“Jika kamu menyukainya, terus terang sajalah, aku akan membantumu, mendorongmu,” lanjutnya.

“Kenapa hanya didorong? Kenapa tidak di jatuhkan aja sekalian?” jawabku santai menanggapinya. Ternyata aku belum siap untuk mengakuinya. Ya, aku memutuskan untuk melihat sampai setengah tahun, apakah perasaan ini akan tetap ada atau tidak. Aku takut perasaan ini akan hilang, seperti perasaanku pada Angelo. Ternyata bagiku Angelo tak lebih dari seorang kakak yang begitu menyayangi adiknya.

Setengah tahun berlalu, dan semua membuatku bertanya-tanya, semua yang terlihat jelas kini berubah menjadi abu-abu. “K” berkata bahwa tak seharusnya aku menyayanginya, karena aku baru mengenalnya. Harusnya aku menyayangi sosok Andi. Dia menunjukkan sikap seperti ingin tapi tak ingin. Aku benci situasi ini. Akupun marah. Bukankah dia selalu aku ceritakan tentang beberapa sosok yang mencoba mengenalku lebih dalam dan aku menolaknya?itu tak lebih karena perasaanku hanya untuknya. Di tengah kemarahanku padanya, aku putuskan tuk menjauhinya. Aku akan mencoba untuk menyukai sosok lain selainnya. Maka tatkala waktu itu tiba, aku merelakan diri mengenal sosok baru itu. Aku buka perasaanku, dan entah bagaimana tiba-tiba kami menjadi dekat. Aku berjanji tuk tidak akan menyamakan sosoknya dengan “K”. Tinggal selangkah lagi dan aku akan terikat dengannya. Tak berhak lagi aku mengharapkan “K”. telah aku buang jauh masa-masa itu. Tiba-tiba saja, kenyataan membawaku kembali pada sosok “K”. Keluargaku memiliki pertimbangan lain untuk tak menerima sosok lain itu. Maaf tak bisa aku ceritakan padamu alasan ini, juga pada sosok lain itu. Aku tahu dia marah dengan keputusan sepihakku ini yang tak memberinya kejelasan tentang alasannya. Biarlah hanya aku, keluargaku dan “K” saja yang tahu. Aku katakan padanya bahwa ada sosok lain yang aku sayangi, jauh sebelum dia. Seseorang yang tak pernah aku ceritakan padanya. Dan sekarang sosok itu memerlukan bantuanku. Dan aku masih menyayanginya. Begitulah kira-kira alasan yang aku lontarkan padanya. Maaf “K”, aku menjadikanmu alasan utama masalah ini. Mungkin itu kalimat yang harus aku lontarkan pada “K”. Tapi toh semua hal itu adalah benar. Aku tersadar belum bisa melupakan sosok “K”, saat dia SMS aku pada malam sebelum tanggal 25 Mei lalu. Aku ingat betul malam itu, dan bagaimana aku jengkel dengan jawaban “K”. Ternyata sebuah SMS darinya mampu mengembalikan rasa yang coba aku pendam tak jauh dari balik dada ini. Untuk sosok lain itu, aku meminta maaf sedalam-dalamnya. Tapi bukankah dia percaya pada takdir Tuhan? takdirnya adalah dia, yang Allah kirimkan buat menggantikanku, sesosok wanita yang baik dan lebih cantik dariku. Jika sampai saat ini dia masih memendam amarah itu, aku akan membantunya tuk meluapkan. Karena aku ingin hubungan baik ini tetap terjalin.

Mencintai sosok seperti “K” bukan tanpa cobaan. Banyak sekali jika aku sebutkan. Tapi kalau boleh aku berpendapat, “K” salah memilihku tuk mengisi hatiku dengannya, karena aku adalah orang yang tidak gampang membuka hatiku kepada semua orang. Aku adalah wanita yang akan menyayangi orang yang aku miliki. Jika akhirnya dia merasa aku sebagai sosok yang lemah, dia tak salah, karena aku hanyalah sosok wanita kebanyakan. Aku sadari, aku bukanlah sosok sempurna bagi “K”. Dia tak akan medapatkan kesempurnaan dariku. Akupun bukanlah sosok insane kamil, karena aku masih butuh dia untuk berproses kearah itu. Aku tak bisa menjanjikan apa-apa baginya, selain kesetiaan.

Menyayangi sosok “K” saat ini sama seperti menyayangi diriku sendiri di masa lalu. Aneh….tapi itulah yang bisa aku pahami saat ini. Dengan menyayangi “K” aku bisa merasakan bagaimana posisi orang yang mencintaiku di masa lalu.

Seperti yang aku katakan padamu sebelumnya, bahwa mencintai “K” bukanlah tanpa cobaan. Percaya atau tidak, ada beberapa wanita sepertiku yang juga mencintainya. Pernah aku merasa tak pantas baginya, hingga akupun menjauh. Hilanglah sedikit rasa itu. Tapi sekali lagi, cinta selalu menunjukkan jalanku padanya.

Jika akhirnya “K” bertanya padaku tentang orang yang harus disalahkan atas perasaanku ini, maka akan aku usulkan sebuah nama. Ya, aku akan sebutkan nama Joni sebagai orang yang bertanggung jawab atas perasaan yang timbul diantara kami. Melalui Joni aku mulai membuka hati. Melalui sosok Joni pula aku merasa nyaman dan belajar menyayangi dirinya, hingga akhirnya sosok Joni menghilang dan aku masih tetap menyayangi “K”.

Ingin rasanya menangis, menemukanku tetap berdiri tegak, pada sebuah ketidakpastian. Nantikanku di batas waktu, begitu kata syair dalam lagu nasyid yang aku dengarkan. Ah…di manakah batas waktu itu? Aku ingin menunggunya sampai waktu itu. Tapi aku benci, teramat benci karena tidak ada seorangpun yang mengajarkan padaku di mana batas waktu itu.

Sampai saat inipun aku tak tahu apakah cerita ini akan berakhir seperti Hayati dan Zainudin dalam karya Hamka itu. Tapi satu yang pasti, aku akan berusaha mengikhlaskannya, seperti Zainudin mengikhlaskan Hayati. Duh Gusti…berikan jalan terangMu padaku, atas noda dalam lubuk hati ini.


Bumi Allah, Februari 2011