Minggu, 14 September 2008


PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pragmatik
Seorang filosof dan ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda. Selanjutnya Montague mengatakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai „idexical“ atau „deictic“. Dalam pengertian ini pragmatik berkaitan dengan teori rujukan atau deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakaiannya. Pragmatik merupakan salah satu bidang kajian linguistik, bidang yang merupakan penelitian bagi para ahli bahasa. Pragmatik yang dimaksud sebagai bahan pengajaran bahasa atau yang disebut fungsi komunikatif, biasanya disajikan dalam ajaran bahsa asing.
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Leech (1983:6(dalam Gunawan 2004:2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam bidang linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini disebut semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik dan komplementarisme atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Pragmatik dibedakan menjadi dua hal:
1. Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa.
2. Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar
Pragmatik pada dasarnya memperhatikan aspek-aspek proses komunikatif (Noss dan Llamzon, 1986). Menurut Noss dan Llamzon, dalam kajian pragmatik ada empat unsur pokok, yaitu hubungan antar peran, latar peristiwa, topik dan medium yang digunakan. Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa sehingga dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada hakekatnya mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat.
Konsep-konsep yang berhubungan dengan pragmatik antara lain adalah tindak bahasa, implikatur percakapan, praaggapan dan deiksis.
Dalam kamus bahasa Indonesia edisi ketiga tahun 2005 disebutkan bahwa pragmatik adalah yang berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996;3) menyebutkan 4 definsi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melabihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau ter komunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995;2) menyebut adanya kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian yaitu, pertama dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara. Kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran. Selanjutnya Thomas (1995:22) dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makan dalam interaksi.
2.2 Pragmatik sebagai bahan pengajaran linguistik
Bidang linguistik yang disebut „pragmatik“ dalam linguistik Amerika merupakan bidang baru. Berikut akan dipaparkan sejarah dan latar belakang pemunculan pragmatik serta perbedaan antara pandangan pragmatik dan pandangan struktural
2.2.1 Sejarah dan Latar Belakang
Saat ini topik pragmatik sangat dikenal dalam linguistik. Padahal dahulu pragmatik dianggap tidak penting. Sikap ini berubah ketika pada akhir tahun 1950an Chomsky menemukan titik pusat sintaksis. Namun sebagai seorang struktualis ia masih menganggap makna terlalu rumit untuk dipikirkan dengan sungguh- sungguh. Pada permulaan tahun 1960 Katz dan kawan- kawannya (Katz dan Fodor, 1963; Katz dan Postal, 1964; Katz, 1964) mulai menemukan cara memasukkan makna ke dalam teori linguistik formal, dan tidak lama kemudian semangat “California atau bust” membuat pragmatik masih mencakup. Kemudian pada tahun 1971 lakoff dan lain- lainnya berargumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari studi penggunaan bahasa. Sejak saat itu pragmatik masuk dalam peta linguistik. Masuknya pragmatik dalam linguistik merupakan tahap akhir dalam gelombang ekspansi linguistik, dari sebuah ilmu sempit yang mengurusi data fisik bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang luas yang meliputi bentuk, makna dalam konteks. Tetapi, ini tahap perkembangan jalur utama aliran linguistik di belahan Amerika. Pada 1940-an di belahan Eropa sudah berkembang kegiatan mengkaji bahasa dengan mempertimbangkan makna dan situasi (aliran praha, aliran firth) dan pada tahun 1960-an Halliday megembangkan teori sosial mengenai bahasa.
Munculnya istilah pragmatik dapat dihubungkan dengan seorang filsuf yang bernama Charles Morris (1938). Ia sebenarnya mengolah kembali pemikiran para filsuf pendahulunya seperti Locke dan Peirce mengenai semiotik (ilmu tanda dan lambang). Oleh Morris semiotik dibagi menjadi tiga cabang : sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda, semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan obyek, dan pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir. Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda bahasa bukan tanda yang lain.
Perubahan linguistik di Amerika pada tahun 1970-an diilhami oleh karya filsuf-filsuf seperti : Austi (1962) dan Searle (1969), yang melimpahkan banyak perhatian pada bahasa. Teori mereka mengenai tindak ujaran mempengaruhi perubahan linguistik dari pengkajian bentuk-bentuk bahasa (yang sudah mapan dan merata pada tahun 1950-1960-an) ke arah fungsi-fungsi bahasa dan pemakaiannya dalam komunikasi.
Di Indonesia konsep pragmatik baru diperkenalkan pertama kali dalam kurikulum bidang studi Bahasa Indonesia (Kurikulum 1984) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila dibandingkan dengan munculnya istilah pragmatik (1938) kita tampaknya jauh ketinggalan dari mereka. Yang penting adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik dalam hubungannya dengan kajian bahasa.
2.2.2 Perkembangan Pragmatik
Jangkauan linguistik yang semakin luas menyebabkan berubahnya pandangan mengenai hakikat bahasa dan mengenai batasan linguistik. Para strukturalis Amerika yakin sekali bahwa linguistik adalah termasuk ilmu eksakta dan karena itu berusaha keras agar masalah dibuang dari bidang ini. Namun ketika Chomsky mulai menerima sinonim sebagai salah satu data linguisti dasariah, ia telah membuka dasar ilmu semantik. Kemudian murid- murid Chomsky tidak puas dan menemukan bahwa betapa sulitnya memisahkan makna dari konteksnya, karena makna itu berbeda dari konteks yang satu dengan yang lainnya. Akibatnya iakah semantik masuk dalam pragmatik.
Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (Wellformednes) bukanlah segalanya. Sebab seperti yang sering kita jumpai komunikasi tetap berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak baik secara sintaksis (ill- formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri. Tradisi yang keiga dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein dan terutam John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya dalam kaitannya dengan logika/ Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa misalnya Searle dan Grice dalam pragmati lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).
2.2.3 Pandangan struktural dan pandangan pragmatik
Dalam analisis struktural yang dibahas adalah bentuk. Suatu kalimat dianalisis dengan mengamati yang mana subyek dan predikat dalam kalimat tersebut. Bagian yang berupa subyek dapat dipotong-potong lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, demikian juga dengan predikatnya. Dan bagian-bagian tersebut masih dapat dipotong-potong lebih lanjut dan diteruskan sampai pada bagian yang paling kecil. Dalam analisis struktural konteks pemakaian kalimat tidak ikut diperhitungkan
Contoh kalimat:
Könnten Sie mir helfen?
Dilihat dari segi bentuknya, kalimat Könnten Sie mir helfen? Merupakan kalimat interogatif, tetapi dari segi fungsinya kalimat tersebut tidak dimaksudkan untuk menanyakan tentang kemampuan (bisa tidaknya) orang yang diajak bicara. Dari segi fungsinya kalimat tersebut bermakna perintah (secara tidak langsung). Makna yang sama dapat juga diutarakan dengan konstruksi imperatif sehingga menjadi kalimat berikut ini.
Helfen Sie mir!
Tentu saja konteksnya menjadi lain pula. Dengan mengamati kapan suatu perintah dibahasakan dengan konstruksi imperatif dan kapan perintah itu dibahasakan dengan konstruksi interogatif, maka akan terlihat perbedaan yang berhubungan dengan siapa dan kepada siapa kalimat tersebut diucapkan.
Konteks menjadi patokan utama dalam analisis pragmatik, sehingga dalam analisis pragmatik dibahas tentang hal-hal sebagai berikut:
1. suatu satuan lingual (dapat dipakai untuk mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi)
2. suatu fungsi komunikatif tertentu dapat diungkapkan dengan sejumlah satuan lingual
2.2.4 Pragmatik dalam Linguistik
Seperti uraikan sebelumnya, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.


kalo da kesalahan maapin y??????

Tidak ada komentar: